Romusha

by - Februari 05, 2018

Romusha, Luka Bangsa yang Tidak Pernah KeringRomusha, Luka Bangsa yang Tidak Pernah 

ROMUSHA : PEKERJA PAKSA ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG

Luasnya daerah pendudukan Jepang, menyebabkan Jepang memerlukan tenaga kerja yang sebanyak-benyaknya untuk membangun sarana pertahanan berupa kubu-kubu pertahanan, lapangan udara darurat, gudang bawah tanah, jalan raya dan jembatan. Tenaga untuk mengerjakan semua itu, diperoleh dari desa-desa di Jawa yang padat melalui sistem kerja paksa yang dikenal dengan Romusha.
Romusha (buruh, pekerja) adalah panggilan bagi orang-orang yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945. Romusha adalah sebuah kata Jepang yang berarti semacam “serdadu kerja”, yang secara harfiah diartikan sebagai seorang pekerja yang melakukan pekerjaan sebagi buruh kasar. Kebanyakan romusha adalah petani, dan sejak Oktober 1943 pihak Jepang mewajibkan para petani menjadi romusha. Mereka dikirim untuk bekerja di berbagai tempat di Indonesia serta Asia Tenggara seperti Birma, Muangthai, Vietnam, Malaysia, dan Serawak. Jumlah orang-orang yang menjadi romusha diperkirakan mencapai 4-10 juta orang.
Tenaga romusha diperoleh dari desa-desa di Jawa yang padat penduduknya melalui program Kinrohosi/kerja bakti. Pada awalnya mereka melakukannya dengan sukarela, lambat laun karena terdesak perang Pasifik maka pengerahan tenaga diserahkan pada panitia pengerahan (Romukyokai) yang ada di setiap desa. Waktu itu setiap kepala keluarga diwajibkan menyerahkan seorang anak lelakinya untuk berangkat menjadi romusha. Namun bagi golongan masyarakat kaya seperti pedagang, pejabat, orang-orang Cina dapat menyogok pejabat pelaksana pengerahan tenaga atau dengan membayar kawan sekampung yang miskin untuk menggantikannya sehingga terhindar dari kewajiban untuk menjadi romusha.
Mula-mula tugas yang dilakukan bersifat sukarela dan tidak begitu jauh dari tempat tinggal penduduk, namun lama-kelamaan pengerahan tenaga kerja berubah menjadi paksaan. Di tempat-tempat mereka bekerja, mereka diperlakukan secara kasar. Kesehatan tidak dijamin, makanan tidak cukup, serta pekerjaan yang sangat berat. Bahkan, untuk pakaian para romusha hanya menggenakan celana dari karung goni untuk menutupi auratnya. Bahan karung goni sendiri merupakan bahan yang tidak nyaman dikenakan dan menjadi sarang kutu. Dengan keadaan yang sedemikian rupa tentu saja menjadi sarang bagi penyakit, sehingga banyak diantara romusha yang meninggal ditempat kerjanya karena sakit, kekurangan makan serta kecapaian ataupun kecelakaan. Berita buruk ini kemudian tersebar dan menjadi rahasia umum, sehingga banyak orang yang takut menjadi romusha.
Untuk menghilangkan ketakutan penduduk dan menutupi rahasia itu, sejak tahun 1943 Jepang melancarkan kampanye baru, yang mengatakan bahwa romusha adalah “prajurit ekonomi” atau “pahlawan pekerja”. Penggunaan kata “kuli” bagi romusha dianggap menghina dan merendahkan derajat “prajurit ekonomi” ini. Mereka digambarkan sebagai prajurit-prajurit yang menunaikan tugas-tugas sucinya untuk angkatan perang Jepang dan sumbangan mereka terhadap usaha perang itu mendapat pujian setinggi langit.
Pengerahan romusha tidak lain karena motivasi Jepang memenangkan perang. Motivasi Jepang ekspansi ke selatan adalah faktor ekonomi, khususnya ketertarika Jepang dalam bidang eksploitasi sumber-sumber ekonomi padi, minyak tanah, batu bara, karet dan barang-barang krusial lainnya di daerah-daerah baru yang dikuasainya untuk mendukung peperangan. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa Jepang tidak memiliki potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang cukup guna menghadapi perang jangka panjang melawan sekutu. Sedangkan tujuan utama Jepang pasca pendudukan adalah menyusun kembali rencana-rencana ekonomi bagi dominasi ekonomi jangka panjang terhadap Asia Timur dan Tenggara, dan menggairahkan kembali perekonomian Indonesia guna mendukung perang.

Sumber :
Isnaeni, Hendri dan Apid. 2008. Romusa Sejarah yang terlupakan. Yogyakarta : Ombak
Sumarmo, AJ. 1991. Pendudukan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Semarang : IKIP Semarang Press

You May Also Like

0 comments