Antara aku, pesantren dan pecel lele
Antara aku, pesantren dan pecel lele
Emak saya ialah tipikal orang tua yang berfikir bahwa indikator kesuksesan dalam mendidik anak adalah ketika sang anak memiliki pemahaman dalam Agama yang cukup baik.
Makanya emak ingin memasukkan saya ke pondok pesantren.
Emak tak terlalu berharap banyak pada saya ketika masuk pondok.
Tak perlu saya menjadi kiai seperti KH mustofa bisri, Gur dur, KH Ahmad Dahlan atau Bahar Smith.
Cukup memastikan bahwa saya terbebas dari pergaulan bebas dan narkoba.
Emak sering menasehati jika masuk pondok bisa menjauhkan saya dari pergaulan bebas .
Dia mencontohkan jika tetangga saya, perempuan sampai hamil diluar nikah karena kurangnya pendidikan Agama oleh orang tuanya.
Sebetulnya saya ingin membantah dengan berdalil bahwa saya ini laki-laki. Tak mungkin hamil diluar nikah.
Tapi saya tak berani.
Emak sering mengutip kisah malin kundang di anak durhaka.
Jiwa rebel saya langsung ciut ketika emak menukil kisah itu.
Saya tak ingin dikutuk jadi gantungan kunci.
Mau minta tolong pada Bapak pun percuma.
Karna, secara de jure, keluarga saya menganut system matriarki.
Dimana emak saya bertindak sebagai Jenderal di Rumah, Ayah bertindak sebagai Mayor jenderal,
Dan saya hanya berpangkat tukang cukur tentara.
Secara hierarki kepangkatan, status saya tak mungkin bisa menolak perintah emak.
Saya tetap diwajibkan masuk pondok pesantren..
Masuk pondok ternyata tak seseram dan sesulit yang saya bayangkan.
Di pondok pesantren, banyak ilmu yang saya dapatkan.
Tak hanya ilmu Agama atau ilmu umum, tapi juga ilmu kehidupan.
Saya belajar menjadi pribadi yang tangguh, setia kawan, bertanggung jawab dan mandiri.
Tak enaknya di pondok hanya soal makanan.
Sudah rahasia umum jika makanan santri pesantren itu makanan yang bergizi.
'Bergizi rendah'
Menunya tak jauh dari tahu-tempe-tahu lagi.
Dan ini adalah masalah rumit bagi saya yang picky eater (suka pilih makanan).
Dirumah saya bisa pilih makanan, di pondok tentu hal itu adalah musykil.
Untungnya teman sekamar menghibur saya,
"Tenang kawan, besok lusa InsyaAllah menunya Ikan"
Dan ternyata benar, menu kantin hari itu ialah "Pecel lele".
Dan kabar gembiranya ialah setiap santri dapat jatah 2 potong ikan lele.
Persetan dengan menu "Vegan" yang setiap hari kami santap.
Malam itu, saya dan teman satu kamar seperti berpesta.
Entah karena bosan menu sederhana,
Rasanya bisa makan pecel lele di pondok itu sebuah kenikmatan HQQ.
Pondok saya hanya memberi menu daging tiap 3 minggu sekali.
Jadi menu ikan atau ayam adalah sebuah kemewahan.
"Nikmat mana yang kau dustakan? "
Tapi ada yang aneh ketika saya habis bersantap pecel lele itu.
Saya lihat dimeja santri senior yang persis seberang meja saya.
Terlihat banyak sisa potongan ikan lele yang masih utuh tak tersentuh.
Juga dibeberapa piring teman satu angkatan yang satu meja masih ada yang tidak memakan jatah ikan miliknya.
Teman sekamar saya iseng bertanya,
"kak, bukankah dosa apabila kita menyisakan makanan? "
Tak banyak berdalih, seorang santri senior langsung menawarkan sisa ikan lele di meja miliknya.
"kalian mau ikannya, dek?"
Spontan saya dan beberapa rekan satu angkatan berebut minta sisa ikan dimeja milik santri senior.
Tapi ada keanehan lagi, ketika kami asyik makan pecel lele itu,
Ada beberapa santri senior cekikikan menahan tawa.
Ada seorang santri senior berdiri ingin mengutarakan sesuatu langsung dicegah rekannya yang lain.
Entah ada konspirasi apa..
Bagi saya bodo amat..
"nikmat mana yang kau dustakan? "
Dua hari kemudian misteri senyuman santri senior dan konspirasi yang melibatkan menu pecel lele itu akhirnya menemui titik terang.
Jum'at itu adalah hari libur ketiga saya dipondok.
Saya genap 3 minggu tinggal dipondok.
Jika biasanya saya tiap hari libur suka balas dendam pada kesibukan dan jam tidur yang selalu pendek dengan tidur seharian dikamar,
Libur kali ini saya memilih jalan-jalan keliling kompleks pondok dengan teman sekamar.
Kompleks pondok saya ternyata cukup luas.
Untuk memenuhi kebutuhan logistik dapur, pondok pesantren saya ternyata memiliki sawah dan kebun sayur sendiri.
Juga ada kandang ayam, kambing serta sapi yang dikelola oleh santri senior sebagai bagian dari pendidikan pesantren.
Terakhir, saya melihat ada kolam ikan lele yang cukup luas.
Tapi ada yang aneh di kolam itu..
Kukira ada yang buang potongan "Pisang goreng" ke kolam itu.
Ternyata benda terapung itu adalah, kotoran manusia.
Tak berapa lama, ada suara "plung" yang keluar dari dekat pipa paralon besar.
Setelah ditelusuri, ternyata pipa itu mengarah ke WC santri blok asrama lain.
2 orang teman saya langsung lemas dan muntah melihat kenyataan itu.
Saya hanya duduk lemas menahan rasa mual.
Akhirnya kami sadar arti dibalik senyuman para santri senior.
Kami makan ikan lele yang diberi tambahan pakan kotoran manusia.
Ternyata pondok pesantren saya menerapkan konsep Eco-food yang ramah lingkungan.
Yaitu gunakan system Re-use dan Re-Cycle pada perikanan lele secara terpadu.
Apa yang kita 'buang' adalah yang kita makan.
Terima kasih pak KIAI..
Anda cocok jadi menteri lingkungan hidup.
0 comments