Mah djito dan romusha

by - November 16, 2019

Mbah Djito,  Antara Romusha dan pahlawan kerja.

Waktu kecil,  aku suka bila diajak bapak sowan atau bertamu ke rumah Almarhum Mbah Djito.

Mbah Djito adalah sesepuh kampung yang telah hidup sejak Jaman Belanda.
Dia masih kerabat dari kakekku.

Bapakku sendiri memanggil beliau dengan "pak dhe". ( panggilan kepada paman)

Dengan pengalaman hidup di berbagai zaman yang berbeda,  beliau tentu punya ceritera menarik dari pengalamannya masa muda.

Dan kadang,  saat kedatangan tamu,  mbah Djito tak segan2 berbagi kenangan dan kehidupannya dahulu. Dan uniknya. mbah djito ini walau sudah berumur,  tidak kelihatan pikun.
Mungkin karena kebiasaannya membaca.
Jadi cerita2 beliau terasa menarik dan cukup detail.
Seolah2 yang mendengar bisa ikut merasakan peristiwa itu.

Suatu sore, Bapak mengajakku Bertamu ke Mbah Djito lagi.

Kali ini,  beliau menceritakan kenangan beliau semasa menjadi seorang Romusha dizaman pendudukan jepang.

Beliau termasuk angkatan Romusha ke 4 atau 5 di kampungnya dahulu.

Kata mbah, kala itu Pemerintah Jepang mewajibkan para lurah,  demang,  atau carik di desa untuk menginventarisir para penduduk laki2 yang Usia kerja.
( sekitar 16 sampai 30 tahunan)

Entah laki2 atau perempuan.

Dan tiap desa diberi jatah untuk mengirimkan wakilnya untuk ikut Romusha.
Dan pemberangkatannya digilir.
Jadi mbah Djito kebagian jatah sedikit belakangan.

Sebelum berangkat, di rumah lurah desa,  pihak tentara jepang menjelaskan bila dia dan penduduk desa diminta menjadi Romusha atau "Pahlawan kerja" untuk pemerintah negeri ini.

Dimana negeri ini, jika mau maju membutuhkan para pejuang.

Jika para tentara berjuang di medan perang,  maka orang2 seperti mbah djito dianggap pejuang yg bekerja untuk membangun bangsa ini.

Konon,  seingat mbah..

Dalam kontrak awal, Pekerja Romusha digaji antara 0,4 hingga 0,6 Uang Federal ( F ) perhari.

Serta jatah beras 200gram sehari.

Namun mbah djito mengaku bisa digaji 0,8 F.  Alasannya ialah mbah djito kebetulan pernah dan bisa baca tulis.

Jadi mudah diajari bahasa jepang, lalu bisa diangkat jadi "Kocho" / kepala group. Yang gajinya sedikit
Lebih besar.

Pertengahan Tahun Jepang 2604 ( sekitar 1944)

Pertama kali mbah merasakan rasanya tinggal diluar pulau jawa.

Mbah awalnya sedikit kaget dan bingung saat tinggal dan bekerja di kalimantan.
Nyamuk lebih ganas daripada di jawa dan airnya tak seenak sumur di belakang rumahnya.

Tapi lama2 terbiasa..

Mbah bekerja di bagian barak pemotongan kayu.

Yang dia sukai saat jadi Romusha ialah saat makan.

Karena dianggap seperti pejuang oleh pemerintah nippon,

Beliau bisa merasakan makan beras atau nasi.

Makanan yang mungkin jatahnya tentara jepang.

Kata mbah,  jaman jepang itu jika panen pasti diambil paksa tentara nippon.

Alasannya demi perang untuk negeri ini.

Makanya penduduk harus bertanam padi lalu menyerahkan hasil gabah ke tentara nippon.

Akhirnya, penduduk kecil macam beliau makanan pokoknya paling talas, singkong,  atau gadung beracun yg tak mungkin diambil jepang.

Nasi barang mewah, dan itu hanya sering dia rasakan saat jadi romusha.

Makanya,  mbah mengaku sangat menyukai saat2 makan.
Karena merasa,  saat itulah dia merasakan sedikit nikmatnya hidup.

Yah, kehidupan orang zamannya memang sesederhana itu.

Bagi beliau, di masa sulit seperti itu bisa makan nasi saja sudah bahagia luar biasa.

Tak perlu ngopi ke starbak, main smartphone  seperti zaman milenial untuk mencapai kebahagiaan.

Karena belom ada. 😂

Namun..

Kadang kebahagiaan ada masanya.

Dan masa itu ialah awal tahun 2605
( sekitar 1945)
Tahun yg kata mbah,  kemudian beliau ketahui bila Jepang mulai kalah dalam perang pasifik.

Entah kenapa,  jatah makanan mulai sulit.
Gaji pun mulai tertunda. Bahkan bisa tak dibayar,
Hanya diberikan janji akan dibayar saat pulang.

Karena makanan sulit, para pekerja mulai alami banyak penyakit akibat kekurangan gizi.

Situasi pun kata mbah berubah menjadi horror.

Satu persatu teman2nya tumbang sakit bahkan meninggal karena terserang penyakit.

Entah malaria,  disentri, Kolera.

Karena kekurangan tenaga gali kubur, puluhan mayat2 pekerjanya dikubur massal dalam satu lubang besar.

Hingga pada akhirnya, mbah dan beberapa rekannya nekad kabur dari barak.

Dan ini situasi beresiko. Karena kabur dan bila tertangkap resikonya besar.

Tentara jepang kadang tak segan2 menyiksa atau membunuh pekerja yang kabur dengan bayonet.

Namun,  bertahan pun.. Situasi juga sama.

Dalam pikiran mbah, daripada mati disini, lebih baik berjudi bertaruh nyawa untuk kebebasan.

Dan dalam perjudian itu mbah dan beberapa rekannya sukses kabur dengan selamat.
Tanpa terluka sedikit pun,  walau dibayangi ketakutan atas letupan senapan tentara nippon.

Dalam pelarian,
Tak disangka ternyata beliau dan teman2nya berjumpa dengan truk tentara "londho" / belanda di jalan.

Para tentara itu ternyata ada satu yang bisa berbahasa jawa.

Dengan sopan menawarkan jasa tumpangan pada mbah dan rekan2.

Bahkan, saat beliau menceritakan bahwa beliau habis kabur dari tentara jepang, tentara2 itu justru bersimpati pada beliau.

Mbah dan teman2nya diberi makanan oleh tentara2 itu. Makanannya seingat mbah dalam kaleng seng. Ada susu, kentang, daging.

Mbah yang kelaparan,  senang sekali.
Mungkin itu daging sapi yang pertama kali beliau makan tahun itu
(2605).

Tentara2 itu memperkenalkan diri sebagai tentara aliansi atau sekutu.
Mereka datang kesini untuk membebaskan Hindia belanda dari jajahan jepang.

Dan kebetulan,  di sekitar sana tentara2 jepang sudah mulai kalah di kalimantan.

Tinggal sisa2 yang bersembunyi di barak2 dan bunker2.

Oleh salah satu tentara,  mbah dijanjikan akan dibantu pulang ke jawa naik kapal.

Akan tetapi, mbah harus menunggu kapal datang sekitar 2 bulan.

Dan akhirnya kapal datang, mbah pulang lewat priok di batavia membonceng kapal tentara sekutu.

Mbah tentu senang hari kepulangan.

Dia tak sabar bertemu keluarganya  di kampung.
Pun teman2nya juga sama.

Di dalam jahitan stagen  atau sabuk yang melingkar di badannya tersimpan sekitar 160 uang federal.

Rekan2nya pun juga ada yg menyimpan uang didalam jahitan baju.

Itu uang sisa dia bekerja.

Sebagian sudah dikirim lewat pemerintah ke kampung masing2..

Sebagian beberapa bulan tidak dibayar.

Tapi, mbah tak perduli lagi.
Asalkan masih ada uang sisa.
Bisa untuk ongkos dari priok,  jakarta ke jawa timur.

Namun masalah akhirnya muncul saat tiba di jakarta.

Saat membeli makanan,

Tak ada satupun pedagang yang mau menerima uangnya.

Uang miliknya ialah Uang yang dikeluarkan oleh pemerintah jepang . Dan itu sudah tidak berlaku lagi. Negaranya sudah berganti pemerintah.

Zamanpun telah berganti..
Uang 160 F miliknya telah berubah menjadi lembaran2 kertas tak berharga.

Kerja keras selama itu tak ada harganya.

You May Also Like

0 comments