Pepeng di dalam Bilik Pasungan
Pepeng di dalam bilik pasungan.
Sebuah Cerita By Rhio Kurniawan
Pepeng nama yang lebih sering terdengar di mulut orang desa daripada nama aslinya, Anto.
Dia adalah sosok yang sudah lama tak asing lagi. Lelaki tua itu selalu tampak sama: terkurung di balik jeruji kayu, terpasung di depan rumah reyotnya yang seolah tumbuh menjadi bagian dari dirinya.
Sekarang tahun 1996. dua hari lagi Semua Warga Desa akan merayakan Idul Fitri. dan Pepeng masih terkurung disitu.
tak ada yang benar-benar tahu hari,bulan dan tahun Pepeng mulai hidup di balik dinding sunyi itu.
Yang pasti,kata orang sudah lebih dari 16 tahun berlalu sejak hari ketika dia dipaksa menerima nasibnya.
Dulu, saat umurnya masih muda sekitar 20 tahunan.
Pepeng adalah lelaki yang tampak biasa saja. Tampan, kuat, penuh harapan.
Kabar burung yang tersebar, bahwa dia pernah mencintai seorang gadis desa sebelah,
seorang wanita berparas manis yang konon senyumannya mampu mencairkan hati yang paling dingin.
Orang-orang berspekulasi, mereka percaya bahwa ketika wanita itu pergi meninggalkan desanya untuk menikah dengan lelaki lain, Pepeng kehilangan kewarasannya.
"Dia terlalu mencintai gadis itu, akhirnya gila dia!" gumam seorang lelaki tua di warung kopi, menyuarakan pendapat umum.
Namun kenyataan selalu lebih pelik daripada yang terlihat.
Tak ada yang tahu atau mungkin tak ada yang peduli untuk mencari tahu, bahwa jauh sebelum Wanita pujaan hatinya pergi, jiwa Pepeng telah lama rapuh.
Skizofrenia menggerogoti pikirannya, perlahan tapi pasti.
Suara-suara aneh mulai berdengung di kepalanya, membisikkan hal-hal yang tak dipahami orang lain, tetapi nyata baginya.
Sesekali, matanya menangkap bayangan yang hanya dia bisa lihat, bayangan yang membuatnya meronta ketakutan.
Tapi di desa itu, apa yang tak terlihat dianggap hanya khayalan.
Dan khayalan, bagi mereka, adalah tanda bahwa seseorang sudah gila.
Pepeng sendiri tak tahu apa yang salah.
Dia hanya tahu bahwa dunianya berubah.
Apa yang dulu terang benderang sekarang menjadi kabur, terbungkus kegelapan yang kian pekat.
Desa yang dulu dia kenal penuh tawa sekarang terasa seperti panggung pertunjukan penuh bisikan rahasia, seakan semua mata tertuju padanya.
Orang-orang di desa itu sebetulnya bukan orang jahat.
Mereka hanya tak mengerti.
Bagi mereka, penyakit adalah sesuatu yang bisa dilihat dan disentuh. makadari itu, apalah pengetahuan mereka tentang penyakit yang menyerang jiwa?
Lelah tubuh bisa disembuhkan dengan ramuan atau doa.
Namun, Pepeng? Dia adalah misteri yang terlalu rumit, terlalu menakutkan untuk dipahami.
Maka, keputusan pelik pun diambil: pasung.
Mereka membangun sangkar kayu di depan rumahnya.
Tidak untuk menghukumnya, begitu katanya. Ini demi keselamatan Pepeng dan orang lain. "Biar dia tak membahayakan dirinya sendiri," kata kepala desa, seolah keputusan itu bentuk kasih sayang.
Padahal, di balik "kasih sayang" itu hanya ada ketakutan.
Ketakutan pada yang tak bisa mereka mengerti.
Pepeng menghabiskan masa mudanya di dalam pasungan itu.
Tahun demi tahun berlalu, dan dia tetap di situ. Orang-orang yang dulu mengenalnya perlahan lupa.
Kini Pepeng hanyalah bagian dari lanskap desa, tak lebih menarik perhatian daripada Pohon Filicium tua di sebelah Biliknya.
Setiap pagi, ada orang yang datang membawakan makanan, sekadarnya.
Sepotong nasi, mungkin dengan secuil ikan asin. Tidak ada yang berbicara padanya lagi.
lagipula kata-kata sudah tak diperlukan untuk seseorang yang dianggap sudah hilang akal.
Namun..Pepeng masih mendengar. Dia masih melihat.
Di balik tatapan kosongnya, dia tahu bahwa dunia di luar sana terus berjalan tanpa mempedulikannya.
Suara-suara di kepalanya tak pernah benar-benar pergi, tapi mereka menjadi satu-satunya teman yang tersisa.
Sesekali Pepeng tersenyum.
Ironis, pikirnya, bagaimana dulu dia yang takut pada suara-suara dan halusinasi itu, tapi kini justru suara-suara dan bayangan itulah yang menemaninya melalui hari-hari tanpa akhir ini.
Dulu, orang-orang bilang cinta pada Pujaan hatinya adalah penyebab kegilaannya. Mereka salah.
Pepeng bukan gila karena cinta, dia hancur oleh penyakit yang tak bisa dimengerti oleh siapa pun di desa itu.
Wanita pujaan hatinya hanyalah satu dari banyak kepingan jiwa yang jatuh ketika hidupnya mulai retak.
Tapi siapa peduli akan alasan itu?
Bagi mereka, Pepeng kisah hidup sudah selesai.
Dia tidak lagi punya cerita untuk diceritakan, kecuali sebagai bahan gosip di antara tetangga di warung kopi ata pos siskamling manakala senja tiba.
Pepeng tetap di situ, di balik dinding sunyi.
Setiap hari terasa sama langit yang biru, angin yang berhembus, matahari yang turun dan terbenam.
Tapi bagi Pepeng, waktu sudah kehilangan artinya.
Apa artinya waktu jika setiap harimu hanyalah rangkaian jam yang tak pernah berubah? Tak ada pagi, tak ada malam.
Hanya gelap yang datang dan pergi, diiringi oleh suara-suara di kepalanya yang terus memanggilnya ke jurang yang lebih dalam.
Kadang, Pepeng berpikir tentang akhir hidupnya.
Tentang bagaimana ini semua akan berakhir, atau apakah akan ada akhir.
Namun, dia tidak berharap.
Tidak ada yang menanti di ujung sana, kecuali kegelapan yang lebih sunyi. Dan barangkali, di dunia yang tidak memahami kegilaan, kegelapan itu adalah satu-satunya jawaban yang tersisa.
Tahun terus berlalu, dan Pepeng tetap ada di sana.
Seperti hantu yang tidak diundang, duduk di tepi waktu, menunggu sesuatu yang tak pernah datang.
Note :
Ilustrasi gambar diambil dari artikel jpnn.com :
https://m.jpnn.com/amp/news/10-tahun-kaki-dipasung-akhirnya-bebas
0 comments