Premis Somnium , dewa mimpi

by - Oktober 23, 2024

**Judul: "Somnium"**

**Opening Scene:**  
Kabut menari di atas hamparan kota yang gelap, di sebuah apartemen kecil. **Andreas**, pria yang hancur oleh hidupnya, duduk sendirian di ujung tempat tidur. Matanya kosong, merenungi bayangan yang tak ada di sana lagi—bayangan kekasihnya, **Evelyn**, yang meninggal beberapa bulan lalu. Dalam ketenangan yang tak wajar itu, ia memandangi pil biru pucat di tangannya, *Somnium*.

Narasi batinnya mulai:
_"Apakah mimpi hanyalah tempat kita singgah atau tempat yang kita ciptakan? Jika realita tak memberiku apa-apa, maka aku akan menemukannya di dunia lain."_

**Scene 1: Penemuan Somnium**  
Di sebuah laboratorium yang terang dan steril, **Dr. Ares**, ilmuwan jenius, menciptakan Somnium untuk mengobati gangguan tidur berat. Tujuannya mulia, membantu manusia kembali ke tidur yang sehat. Namun ia bermain dengan sesuatu yang lebih besar: mimpi bukan sekadar istirahat bagi pikiran, mereka adalah labirin yang tak pernah dimaksudkan untuk kita kuasai. Saat manusia berusaha mengendalikan mimpi, mimpi mulai mengendalikan mereka.

**Scene 2: Kecanduan Somnium**  
Di kota, Somnium menjadi sebuah fenomena. Orang-orang menyebutnya "Gerbang ke dunia lain." Mereka yang tidak puas dengan hidup, menggunakan obat ini untuk membangun dunianya sendiri, di mana keinginan terpendam bisa menjadi nyata. Satu per satu, mereka tenggelam dalam mimpi yang terlampau nyata hingga tak bisa lagi membedakan yang mana kenyataan. Tubuh mereka ada di sini, namun pikiran mereka terperangkap di dunia lain.

Metafora labirin muncul:  
_"Mereka menenun jalur sendiri dalam tidur, percaya bahwa mimpi adalah jalan keluar. Tapi apa yang tak mereka sadari, setiap tikungan baru membawa mereka lebih jauh dari kenyataan, lebih dekat pada kehancuran."_

**Scene 3: Andreas dan Somnium**  
Andreas, yang sudah tak sanggup menahan rasa sakit kehilangan, mengambil pil pertama Somnium-nya dengan satu harapan: untuk bertemu Evelyn di dunia mimpinya. Malam pertama, ia menemukannya. Evelyn yang tersenyum, tertawa, tampak nyata—bahkan lebih nyata dari kenangan terakhirnya. Mereka berbicara, menari, bercinta di bawah langit merah muda yang aneh. Dalam dunia itu, Andreas merasa hidup kembali.

Tapi ada ironi yang menusuk di sana. Setiap kali ia mencoba memperbaiki apa yang salah di hidupnya, mimpi itu berubah, menjadi labirin tanpa ujung. Evelyn semakin jauh, semakin tidak bisa diraih.  

_"Aku mencoba meraih masa lalu, tapi masa lalu adalah bayangan yang semakin pudar. Mimpiku tak lebih dari tiruan yang gagal dari apa yang sudah hilang."_  

**Scene 4: Terperangkap dalam Mimpi**  
Seiring waktu, Andreas semakin tak mampu membedakan mana mimpi dan mana kenyataan. Mimpinya berubah menjadi puzzle yang tak beraturan—ruang tanpa jendela, koridor yang melingkar, dan Evelyn yang selalu berada di ujung, tapi tak pernah bisa disentuh.

Narasi batin Andreas berbicara dengan tone ironi:
_"Evelyn bukanlah dewi, dan aku bukanlah Theseus. Tapi kita semua terjebak dalam labirin mimpi yang tidak ada benang Ariadne untuk membimbing kita keluar. Setiap malam, aku mengejarnya, tapi di akhir setiap jalan, hanya ada bayangan diriku yang tersesat."_

**Scene 5: Kehancuran Akhir**  
Somnium, yang awalnya tampak seperti penyelamat bagi Andreas, kini menjadi musuhnya. Ia bertemu lebih banyak orang yang terperangkap di sana, orang-orang yang bersikeras bahwa mimpi mereka adalah kenyataan. Mereka tidak ingin bangun lagi. "Mimpi adalah satu-satunya tempat di mana kita bisa bebas," kata mereka. Andreas mulai mempertanyakan kenyataannya sendiri. 

Dia mengonsumsi Somnium lebih banyak, berharap semakin lama dia tinggal, semakin nyata Evelyn. Namun semakin lama dia tinggal, semakin jelas bahwa Evelyn bukanlah kenyataan, hanya refleksi dari rasa bersalah dan keputusasaannya.

**Scene Akhir: Labirin Tak Berujung**  
Film berakhir dengan Andreas yang berlari di dalam sebuah labirin metaforis, dinding-dindingnya tinggi dan tak terlihat ujungnya. Evelyn berdiri di tengah, tapi setiap kali Andreas mendekat, Evelyn menghilang. Kamera berputar cepat, memperlihatkan Andreas yang terjebak dalam mimpi tanpa akhir. 

Narasi terakhirnya adalah renungan tentang Hypnos, dewa mimpi dalam mitologi Yunani, yang mengingatkan kita bahwa mimpi adalah kekuatan yang tak dapat kita kuasai. Mereka adalah penguasa, bukan pelayan.

_"Mimpi adalah dewa yang licik. Mereka memberiku kebebasan, tapi membawaku lebih dalam ke penjara pikiran sendiri. Realitaku sekarang kabur, karena setiap kali aku membuka mata, aku tak lagi yakin apa yang kulihat adalah mimpi atau dunia yang pernah kuanggap nyata."_ 

**End Credits:**  
Musik lembut namun menghantui diputar, meninggalkan penonton dengan perasaan tersesat, bertanya-tanya apakah Andreas akhirnya terperangkap selamanya, atau jika pada kenyataannya, kita semua, dalam cara tertentu, terjebak dalam labirin mimpi kita masing-masing.

You May Also Like

0 comments