Premis film romusha

by - Oktober 22, 2024

**Judul: "Sisa-sisa Angin Romusha"**

**Durasi: 160 Menit**

### **Babak 1: Asa di Bawah Langit yang Retak (Menit 0-40)**

Film dimulai di sebuah desa miskin yang gersang dan tandus. Tanah retak-retak karena gagal panen berturut-turut. Langit yang kelabu menjadi simbol keputusasaan warga desa. **Haryo**, seorang pria berusia 25 tahun, hidup dalam tekanan kemiskinan bersama ibunya yang sakit-sakitan dan dua adik kecil yang kelaparan. Desa itu seolah terkutuk; tiap musim hujan tak pernah datang tepat waktu, dan tiap musim panen selalu gagal.

Keluarga Haryo terjebak dalam siklus kemiskinan yang tak terputus. Mereka makan seadanya, bahkan sering kali hanya menyeduh air garam. Setiap hari, suara perut lapar terdengar lebih nyaring daripada suara angin yang meniup dedaunan kering. Namun Haryo tetap bermimpi, bermimpi bahwa suatu hari dia akan mampu membawa keluarganya keluar dari kehidupan penuh penderitaan ini.

Suatu malam, Haryo bermimpi aneh. Ia berada di sebuah lapangan luas, diapit oleh barisan tentara Jepang yang tanpa ekspresi, menggiring warga desa untuk mendaftar menjadi **romusha**—pekerja paksa di bawah pemerintahan Jepang. Warga yang mendaftar dijanjikan gaji besar, cukup untuk membangun rumah dan memberi makan keluarga seumur hidup. Haryo, yang melihat kesempatan ini sebagai jalan keluar, dengan segera mengacungkan tangan.

### **Babak 2: Harapan di Tanah Asing (Menit 40-100)**

Haryo terbangun dengan perasaan ganjil, namun tekadnya bulat. Ketika utusan Jepang datang ke desanya, ia mendaftarkan diri sebagai romusha. Dengan berat hati, ia meninggalkan ibunya yang terbaring lemah di ranjang anyaman bambu, dan kedua adiknya yang tak bisa berhenti menangis. Mereka menggantungkan harapan kepada Haryo, berharap bahwa kakak tertua mereka bisa membawa sedikit keajaiban dari tanah asing itu.

Dalam perjalanan ke tempat kerja paksa, Haryo dan para romusha lain diangkut dalam kereta penuh sesak. Matahari menyengat, dan tubuh mereka seolah dibakar oleh nasib yang belum pasti. Meski begitu, di hatinya Haryo menggenggam mimpi yang sama: memperbaiki nasib keluarganya. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi bayangan tentang makanan yang melimpah dan rumah baru yang megah, jauh dari desa yang sekarat.

Namun kenyataan tak seindah harapannya. Setibanya di lokasi, ia dihadapkan pada kenyataan pahit: pekerjaan itu melelahkan, nyaris tidak manusiawi. Mereka bekerja dari fajar hingga senja, dengan makanan seadanya dan upah yang tak seberapa. Namun Haryo terus bertahan, selalu ingat pada keluarganya di rumah. Satu hal yang membuatnya tetap hidup adalah surat-surat berisi kabar dari desa yang datang setiap bulan, meski singkat, surat itu memberikan secercah harapan.

### **Babak 3: Bayang-bayang yang Terlambat (Menit 100-140)**

Tahun berlalu, dan akhirnya perang berakhir. Pemerintah Jepang jatuh, dan Indonesia merdeka. Haryo pulang membawa **uang romusha** yang telah ia kumpulkan. Setumpuk uang, yang bagi Haryo adalah harapan baru untuk membangun kembali hidup keluarganya. Ia pulang dengan keyakinan bahwa keluarganya akan terangkat dari keterpurukan, dari desa yang seolah dikutuk kemarau.

Namun ketika sampai di desanya, ia menemukan rumahnya kosong. Ibunya sudah tiada, adik-adiknya pergi entah ke mana. Desa itu masih sama, bahkan lebih buruk dari sebelumnya—tanah semakin gersang, dan debu berterbangan di udara yang kering. Haryo, dengan segenggam uang di tangan, merasa asing di tanah kelahirannya.

Dengan segera, ia menuju ke pasar untuk membeli makanan dan kebutuhan pokok. Namun di pasar, uang yang ia dapatkan dari hasil kerjanya tak lagi berharga. Pemerintahan sudah berganti, dan mata uang romusha tidak berlaku di negara yang kini telah merdeka. Uangnya hanyalah selembar kertas tak berarti di bawah rezim yang baru.

Haryo berdiri di tengah pasar yang ramai, namun ia terasa seperti seorang asing di dunia yang telah berubah. Semua yang ia perjuangkan seolah hancur dalam sekejap. Di tangan, ia menggenggam uang yang tak lebih dari sekedar kenangan masa lalu. Ironi yang ia rasakan begitu pahit: ia telah mengorbankan segalanya, namun tak mendapatkan apa-apa selain kehilangan.

### **Babak 4: Hening di Tengah Gemuruh (Menit 140-160)**

Dalam keheningan, Haryo berjalan kembali ke desanya. Sepanjang jalan, ia diselimuti oleh bayangan mimpi-mimpinya sendiri yang hancur. Desa tempat ia dilahirkan seolah menjadi kuburan masa lalu, di mana setiap orang yang pernah ia cintai telah pergi tanpa meninggalkan jejak.

Film berakhir dengan gambaran Haryo berdiri di atas tanah yang kering, angin bertiup membawa debu yang menari-nari di udara. Di tangannya, uang romusha yang ia bawa terlepas, beterbangan di udara, hanyut bersama angin. Haryo mendongak ke langit yang kelabu, seolah mencari jawaban dari takdir yang memberinya harapan palsu. Angin menggiring kertas-kertas itu menjauh, seperti mimpi yang tak pernah benar-benar ada.

---

**Penutup**  
Film ini mengangkat ironi kehidupan, di mana perjuangan yang besar terkadang berujung pada kehampaan. Mimpi Haryo, yang semula begitu cerah, ternyata tak lebih dari bayang-bayang yang hilang tertiup angin zaman.

You May Also Like

0 comments