Bayangan Rio di Jalanan Sunyi

by - Oktober 21, 2024

Bayangan Rio di Jalanan Sunyi

Sebuah Cerpen By Rhio Kurniawan

Rio, namanya melayang di udara seperti asap rokok yang dihembuskan kasar dari bibir pecah-pecahnya. 

Jalanan kota adalah kasurnya, dan malam yang dingin adalah selimutnya,
selimut tipis yang tak pernah bisa menghangatkan. 

Rio bukan siapa-siapa lagi. 
dia tak punya rumah, tak punya tujuan. 

Di kepalanya, pikiran berlarian, memecah-pecah seperti kaca yang jatuh ke lantai, serpihannya melukai dirinya sendiri. 

Dia adalah gelandangan psikotik, terjebak dalam perang tanpa lawan, di mana pikirannya sendiri adalah musuh yang tak bisa dia kalahkan.

Setiap malam, Rio berjalan sendirian di antara lampu jalanan yang redup, seakan-akan enggan berpijar, seperti hidupnya yang juga enggan bersinar. 

Trotoar yang ia jejaki keras, dingin, penuh lubang, seperti jiwanya.. Suara langkah kakinya bergema di tengah kesunyian kota, bercampur dengan angin malam yang menyisir tubuhnya, menusuk hingga ke tulang. 

Setiap kali ia melangkah, pikirannya berbisik. "Mereka datang, Rio. Mereka akan menangkapmu. Lari!" bisikan itu datang seperti halilintar yang memecah malam, tapi mereka tak pernah benar-benar hadir.

Rio ditipu oleh suara itu.

Di antara teriakan batinnya, Rio terhuyung-huyung, menghitung retakan di trotoar seakan-akan itu peta menuju ketenangan. 

Namun, setiap hitungan hanya menambah kegilaan. 

Malam di kota ini begitu dingin, dan dinginnya bukan hanya di kulit. Ia meresap masuk, menyesap jiwanya yang sudah kehilangan harapan. Rio, yang dulunya mungkin bermimpi tentang masa depan, kini hanya berusaha bertahan dari dunia.

Ironis, bagaimana seseorang yang masih muda sepertinya bisa tersesat oleh dirinya sendiri.

Terkadang, di sudut-sudut gelap, Rio berhenti sejenak, menatap ke langit yang hitam pekat, kosong tanpa bintang. "Apakah di sana ada jawaban?" pikirnya. 

Dia tahu langit tetap diam, seperti semua orang yang pernah ia kenal diam, acuh, namun dia tak peduli. dia tetap bertanya walau tidak pernah ada jawaban.

Rio memungut puntung rokok yang tersisa di jalanan, menyalakannya dengan gemetar, dan mengisap dalam-dalam, seakan-akan asap itu bisa menenangkan badai di kepalanya. 

Tapi, tak ada yang berubah. Asap hanya menjadi kabut tipis yang segera lenyap.

Suatu malam, ia menemukan tempat di bawah jembatan, terlindung dari hembusan angin kencang. Sebuah kardus bekas menjadi kasurnya, dan selembar koran yang ia temukan di tong sampah adalah selimut terakhirnya. 

Mata Rio terpejam, tetapi pikirannya terus melaju, tak pernah berhenti. "Kau harus lari, mereka ada di sini! Mereka melihatmu!" bisikan itu semakin kencang, seperti detak jam yang menghantui keheningan malam. Rio ingin berteriak, tapi suaranya terjebak di tenggorokan.

Di bawah jembatan itu, di antara deru mobil yang lewat dan dingin malam yang menusuk, 

Rio mengerti akan sesuatu. 

Bukan dingin yang akan membuatnya mati perlahan, melainkan pikirannya sendiri yang tak memberinya jalan keluar. 

Dia terjebak di tengah kebebasan jalanan, di mana langit adalah atapnya, dan dunia yang luas adalah miliknya. 

Dalam kepalanya saat ini tak ada satupun kebebasan tersisa.

dia adalah tahanan dalam pikirannya sendiri.

Dan lampu-lampu jalan itu tetap redup, enggan berpijar, seperti hidup Rio yang tak pernah benar-benar terang.

You May Also Like

0 comments